Jumat, 15 Agustus 2014

Pluralisme Hukum
















Bab II: Pembahasan
A. Pluralisme Hukum
Pluralisme berasal dari bahasa Inggrispluralism, terdiri dari dua kata plural (beragam) dan isme (paham) yang berarti beragam pemahaman, atau bermacam-macam paham Untuk itu kata ini termasuk kata yang ambigu (bermakna lebih dari satu).
Sedangkan pengertian hukum adalah peraturan atau adat yg secara resmi dianggap mengikat, yg dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah.
Jadi Pengertian Pluralisme Hukum adalah: Pluralisme hukum (legal pluralism) kerap diartikan sebagai keragaman hukum. Pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari satu aturan hukum dalam sebuah lingkungan sosial.

B. Pluralisme Hukum di Indonesia
Pluralisme hukum (legal pluralism) kerap diartikan sebagai keragaman hukum. Menurut John Griffiths, pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari satu aturan hukum dalam sebuah lingkungan sosial (Griffiths, 1986: 1). Pada dasarnya, pluralisme hukum melancarkan kritik terhadap apa yang disebut John Griffiths sebagai ideologi sentralisme hukum (legal centralism).
Sentralisme hukum memaknai hukum sebagai ”hukum negara” yang berlaku seragam untuk semua orang yang berada di wilayah yurisdiksi negara tersebut. Dengan demikian, hanya ada satu hukum yang diberlakukan dalam suatu negara, yaitu hukum negara. Hukum hanya dapat dibentuk oleh lembaga negara yang ditugaskan secara khusus untuk itu. Meskipun ada kaidah-kaidah hukum lain, sentralisme hukum menempatkan hukum negara berada di atas kaidah hukum lainnya, seperti hukum adat, hukum agama, maupun kebiasan-kebiasaan. Kaidah-kaidah hukum lain tersebut dianggap memiliki daya ikat yang lebih lemah dan harus tunduk pada hukum negara (Griffiths, 2005: 71). 
Dalam perjalanannya, pluralisme hukum ini tidak terlepas dari sejumlah kritik, di antaranya: (1) pluralisme hukum dinilai tidak memberikan tekanan pada batasan istilah hukum yang digunakan; (2) pluralisme hukum dianggap kurang mempertimbangkan faktor struktur sosio-ekonomi makro yang mempengaruhi terjadinya sentralisme hukum dan pluralisme hukum. Selain itu, menurut Rikardo Simarmata, kelemahan penting lainnya dari pluralisme hukum adalah pengabaiannya terhadap aspek keadilan.
Lagi pula, pluralisme hukum belum bisa menawarkan sebuah konsep jitu sebagai antitesis hukum negara. Pluralisme hukum hanya dapat dipakai untuk memahami realitas hukum di dalam masyarakat.
C. Gerakan Pluralisme Hukum di Indonesia
Perkembangan pluralisme hukum dalam gerakan perubahan hukum muncul melalui advokasi-advokasi terhadap masyarakat adat. Dalam konteks ini, pluralisme hukum dipakai untuk membela tanah-tanah masyarakat yang diambil paksa oleh negara atau pelaku swasta (Simarmata, 2005). Hukum adat ditampilkan sebagai lawan dari hukum negara yang memberi keabsahan perampasan-perampasan tanah adat. Lagi pula, dalam UUPA ada peluang melalui aturan yang mengakui keberadaan tanah-tanah adat (ulayat). Singkatnya, konsep pluralisme hukum dipakai untuk mengangkat kembali keberadaan hukum adat, dalam upaya untuk melindungi sumber daya alam yang dimiliki masyarakat adat dari perampasan-perampasan yang diabsahkan hukum negara.
Lebih jauh lagi, pluralisme hukum dipakai untuk mendorong pengakuan keberadaan masyarakat adat oleh negara. Salah satu keberhasilan gerakan ini adalah menggolkan aturan mengenai pengakuan dan penghormatan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat hak-hak tradisionalnya dalam Pasal 18B UUD 1945 pada amandemen kedua tahun 2000. Selain itu, kemunculan TAP MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria, yang di dalamnya diatur juga tentang masyarakat adat, juga tidak terlepas dari pengaruh pluralisme hukum. Sejak munculnya aturan ini, hampir semua produk hukum negara yang berkaitan dengan sumber daya alam memuat aturan mengenai masyarakat adat ini.
Di tataran praktis, gerakan untuk mendorong pengakuan masyarakat adat semakin masih dilakukan aktivis-aktivis pro-masyarakat adat. Di antaranya dengan melakukan pemetaan wilayah-wilayah adat di sejumlah tempat dan pendokumentasian hukum-hukum adat. Karena, dua hal inilah yang menjadi syarat utama untuk diakuinya keberadaan masyarakat adat. Selain itu, gerakan ini juga mendorong pemerintah-pemerintah daerah mengakui masyarakat adat melalui pembentukan sejumlah regulasi daerah. Di sisi lain, pemberlakuan otonomi daerah juga semakin memberi angin segar untuk gerakan ini.
Lebih jauh lagi, gerakan penggiat pluralisme hukum juga mencoba merambah ranah penyelesaian sengketa, yaitu dengan mendorong adanya pengakuan terhadap lembaga-lembaga penyelesaian hukum adat (peradilan adat). Hal ini dianggap sebagai salah satu jawaban terhadap situasi lembaga penyelesaian sengketa negara (pengadilan) yang bobrok, yang dinilai tidak dapat memberikan keadilan substantif. Gerakan ini intinya menawarkan untuk membiarkan masyarakat menyelesaikan persoalannya sendiri melalui peradilan adat tanpa melalui melibatkan pengadilan.

D.Pluralisme Hukum dalam Pandangan Antropologi

Pluralisme dalam sehari - hari dikenal sebagai keragaman akan perbedaan, dari segi keilmuan sendiri Pluralisme digunakan untuk menafsirkan cara yang berbeda, di berbagai topik untuk menunjukkan keragaman pandangan, dan bertentangan dengan satu pendekatan atau metode penafsiran. Namun di masyarakat sendiri yang banyak diangkat kepermukaan adalah Pluralisme Agama tapi tahukah anda ada banyak jenis pluralisme diantaranya :

- Pluralisme Kosmik yakni keyakinan di berbagai dunia lain di luar bumi, yang mungkin memiliki kondisi yang cocok untuk kehidupan.
- Pluralisme Budaya, ketika kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat yang lebih besar mempertahankan identitas budaya mereka yang unik (lihat Multikulturalisme)
- Pluralisme Ekonomi , keragaman metode ekonomi termasuk kapitalisme, koperasi dan laissez faire
- Pluralisme Hukum, mengakui adanya perbedaan sistem hukum di dunia
- Pluralisme Metodologis, pandangan bahwa beberapa fenomena yang diamati dalam sains dan ilmu sosial memerlukan beberapa metode untuk menjelaskan sifat mereka.
- Pluralisme (hubungan industrial), pengakuan dari multiplicy kepentingan sah dan pemangku kepentingan dalam hubungan kerja.
- Pluralisme (filsafat), posisi seluruhnya tidak terkait dalam monisme metafisika dan epistemologi.
- Pluralisme (filsafat politik), pengakuan dari keanekaragaman sistem politik.
- Pluralisme (teori politik), berpandangan bahwa kekuasaan politik dalam masyarakat tidak terletak dengan pemilih, tetapi didistribusikan antara sejumlah luas kelompok.
- Pluralisme Agama, istilah yang digunakan untuk menggambarkan penerimaan semua jalur agama sama-sama sah, mempromosikan ko-eksistensi.
- Pluralisme Ilmiah, pandangan bahwa beberapa fenomena yang diamati dalam ilmu membutuhkan beberapa penjelasan untuk menjelaskan sifat mereka, sehingga penolakan bahwa ada satu metode ilmiah kesatuan .

             Walau terdapat sekian banyak pluralisme seperti yang telah saya paparkan diatas, namun kali ini kita akan membahas mengenai 
pluralisme Hukum terutama dari pandangan Antropologi Hukum. Mengapa harus dikaji dari segi Antropologi Hukum ? Hal ini karena ketika mengkaji kasus-kasus sengketa dalam masyarakat, studi-studi antropologis mengenai hukum juga memberi perhatian pada fenomena kemajemukan hukum (legal pluralism) dalam kehidupan masyarakat. Dalam kaitan ini, Cotterrel (1995) menegaskan :

             We should think of law as a social phenomenon pluralistically, as regulation of many kinds existing in a variety of relationships, some of the quite tenuous, with the primary legal institutions of the centralized state. Legal anthropology has almost always worked with pluralist conceptions of law (Cotterrell, 1995:306).

             Hal ini memberikan pembenaran terhadap kemajemukan maupun keragaman yang berarti secara empiris dapat dijelaskan, bahwa hukum yang berlaku dalam masyarakat selain terwujud dalam bentuk hukum negara (state law), juga berwujud sebagai hukum agama (religious law), dan hukum kebiasaan (customary law).

             Tetapi, secara antropologis bentuk mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (inner order mechanism atau self-regulation ) dalam komunitas-komunitas masyarakat adalah juga merupakan hukum yang secara lokal berfungsi sebagai sarana untuk menjaga keteraturan sosial (F. von Benda-Beckmann, 1989, 1999; Snyder, 1981; Griffiths, 1986; Hooker, 1987; K. von Benda-Beckmann & Strijbosch, 1986; Moore, 1986; Spiertz & Wiber, 1998).

             Secara substantif pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama , atau untuk menjelaskan keberadaan dua atau lebih sistem pengendalian sosial dalam satu bidang kehidupan sosial (Griffiths, 1986:1), atau menerangkan suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan sosial (Hooker, 1975:3), atau suatu kondisi di mana lebih dari satu sistem hukum atau institusi bekerja secara berdampingan dalam aktivitas-aktivitas dan hubungan-hubungan dalam satu kelompok masyarakat (F.von Benda-Beckmann, 1999:6).

             Sedangkan ajaran mengenai pluralisme hukum (legal pluralism) secara umum dipertentangkan dengan ideologi sentralisme hukum (legal centralism). Ideologi sentralisme hukum diartikan sebagai suatu ideologi yang menghendaki pemberlakuan hukum negara (state law) sebagai satu-satunya hukum bagi semua warga masyarakat, dengan mengabaikan keberadaan sistem-sistem hukum yang lain, seperti hukum agama, hukum kebiasaan, dan juga semua bentuk mekanisme-mekanisme pengaturan lokal yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, Griffiths (1986:12) menegaskan :

             The ideology of legal centralism, law is and should be the law of the state, uniform for all persons, exclusive of all other law, and administered by a single set of state institutions. To the extent that other, lesser normative orderings, such as the church, the family, the voluntary association and the economic organization exist, they ought to be and in fact are hierarchically subordinate to the law and institutions of the state.

             Jadi, secara jelas ideologi sentralisme hukum cenderung mengabaikan kemajemukan sosial dan budaya dalam masyarakat, termasuk di dalamnya norma-norma hukum lokal yang secara nyata dianut dan dipatuhi warga dalam kehidupan bermasyarakat, dan bahkan sering lebih ditaati dari pada hukum yang diciptakan dan diberlakukan oleh negara (state law). Karena itu, pemberlakuan sentralisme hukum dalam suatu komunitas masyarakat yang memiliki kemajemukan sosial dan budaya hanya merupakan sebuah kemustahilan. Dengan meminjam kata-kata dari Griffiths (1986:4) dinyatakan:

             Legal pluralism is the fact. Legal centralism is a myth, an ideal, a claim, an illusion. Legal pluralism is the name of a social state of affairs and it is a characteristic which can be predicted of a social group.

             Konsep pluralisme hukum yang dikemukakan Griffiths di atas pada dasarnya dimaksudkan untuk menonjolkan keberadaan dan interaksi sistem-sistem hukum dalam suatu masyarakat, antara hukum negara (state law) dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan sistem hukum agama (religious law) dalam suatu kelompok masyarakat. Dalam kaitan ini, Tamanaha (1992:25-6) memberi komentar kritis terhadap konsep pluralisme dari Griffiths yang cenderung terfokus pada penekanan dikotomi keberadaan hukum negara dengan sistem-sistem hukum yang lain, seperti berikut :

1. Konsep pluralisme hukum dari Griffiths pada dasarnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu pluralisme yang kuat (strong legal pluralism) dan pluralisme yang lemah (weak legal pluralism). Pluralisme yang lemah merupakan bentuk lain dari sentralisme hukum (legal centralism), karena walaupun dalam kenyataannya hukum negara (state law) mengakui adanya sistem-sistem hukum yang lain, tetapi hukum negara tetap dipandang sebagai superior, dan sementara itu sistem-sistem hukum yang lain bersifat inferior dalam hierarkhi sistem hukum negara.

Contoh yang memperlihatkan pluralisme hukum yang lemah (weak legal pluralism) adalah konsep pluralisme hukum dalam konteks interaksi sistem hukum pemerintah kolonial dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan hukum agama (religious law) yang berlangsung di negara-negara jajahan seperti dideskripsikan oleh Hooker (1975).

2. Sedangkan, pluralisme hukum yang kuat mengacu pada fakta adanya kemajemukan tatanan hukum dalam semua kelompok masyarakat yang dipandang sama kedudukannya, sehingga tidak terdapat hirarkhi yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih dominan dari sistem hukum yang lain. Untuk ini, teori Living Law dari Eugene Ehrlich yang menyatakan dalam setiap masyarakat terdapat aturan-aturan hukum yang hidup (living law) dari tatanan normatif (Sinha, 1993:227; Cotterrell, 1995:306), yang biasanya dikontraskan atau dipertentangkan dengan sistem hukum negara termasuk dalam kategori pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralism).

3. Selain itu, yang dimasukkan kategori pluralisme hukum yang kuat adalah teori Semi-Autonomous Social Field yang diintroduksi Moore (1978) mengenai kapasitas kelompok-kelompok sosial (social field) dalam menciptakan mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self-regulation) dengan disertai kekuatan-kekuatan pemaksa pentaatannya. Karena itu, Griffiths kemudian mengadopsi pengertian pluralisme hukum dari Moore (1978) :

             Legal pluralism refers to the normative heterogenity attendant upon the fact that social action always take place in a context of multiple, overlapping "semi-autonomous social field".

             Sementara itu, hukum yang dimaksud dalam konsep pluralisme hukum Griffiths kemudian menjadi tidak terbatas pada sistem hukum negara, hukum kebiasaan, atau hukum agama saja, tetapi kemudian diperluas termasuk juga sistem normatif yang berupa mekanisme-makanisme pengaturan sendiri seperti yang diintroduksi Moore (1978), yaitu:

Law is the self-regulation of a ‘semi-autonomous social field’ (Tamanaha, 1992:25).

             Dalam perkembangan selanjutnya, konsep pluralisme hukum tidak lagi mengedepankan dikotomi antara sistem hukum negara (state law) di satu sisi dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan hukum agama (religious law) di sisi yang lain. Pada tahap perkembangan ini, konsep pluralisme hukum lebih menekankan pada interaksi dan ko-eksistensi berbagai sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya norma, proses, dan institusi hukum dalam masyarakat : A variety of interacting, competing normative orders-each mutually influencing the emergence and operation of each other’s rules, processes and institutions (Kleinhans & MacDonald, 1997:31)
E. Irelevansi Pluralisme Hukum bagi Indonesia Sekarang Ini
Gerakan perubahan hukum di Indonesia dengan menggunakan pluralisme hukum sebagai pijakan, telah melangkah cukup jauh. Salah satunya adalah dengan diakuinya hak-hak masyarakat adat, termasuk hukumnya, dalam konstitusi.
Masyarakat Indonesia memang merupakan masyarakat yang majemuk, tetapi bukan berarti bahwa pluralisme hukum merupakan jawaban atas adanya problem hukum di Indonesia.
Pluralisme hukum jelas mengakomodasi nilai-nilai tersebut, dan telah menjadi ancaman bagi demokratisasi di Indonesia. Pengabaian aspek keadilan dalam pluralisme hukum membuat cakupan hukum dalam pengertian pluralisme hukum juga hampir tidak mengenal batas. Sepanjang aturan tersebut dilahirkan dan diberlakukan dalam wilayah tertentu, ia sudah dapat dikatakan sebagai hukum. Tidak begitu penting apakah aturan tersebut dilahirkan dengan proses dominasi atau dimaksudkan untuk meminggirkan kelompok-kelompok tertentu (Simarmata, 2005). Singkatnya, semua nilai-nilai, termasuk nilai-nilai negatif, dapat tumbuh dan berkembang melalui pluralisme hukum.

Hal ini sebenarnya sudah terjadi ketika sejumlah peraturan daerah (perda) yang secara substantif meminggirkan kelompok-kelompok tertentu, berlaku di sejumlah daerah. Lihat saja Qanun di Aceh atau Perda Injil di Manokwari, begitu pula beberapa perda yang mewajibkan pelajar perempuan mengenakan jilbab. Dalam sudut pandang pluralisme hukum, hal semacam itu diakui sebagai implementasi dari pluralisme hukum. Sekali lagi terlihat di sini bahwa pluralisme hukum pada dasarnya tidak melihat apakah secara substantif hukum tersebut adil bagi semua orang.
  

 BAB III : KESIMPULAN

Pengertian Pluralisme Hukum adalah: Pluralisme hukum (legal pluralism) kerap diartikan sebagai keragaman hukum. Pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari satu aturan hukum dalam sebuah lingkungan sosial
Pluralisme hukum bisa menjadi ancaman serius bagi proses demokrasi di Indonesia. Dengan alasan pluralisme hukum, semua produk hukum dapat dipakai untuk menyuburkan nilai-nilai feodalisme, otoritarianisme, ketidakadilan ekonomi, dan bahkan dijadikan jalan bagi totalitarianisme. Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, Namun kita belum memiliki konstitusi yang kuat untuk menopang kemajemukan. Feodalisme masih begitu kental dalam seluruh segi kehidupan masyarakat kita. Kita masih juga masih belum lepas dari bayang-bayang otoritarianisme yang masih menghantui kita, ditambah dengan ancaman munculnya kembali totalitarianisme semakin menguat akhir-akhir ini. Oleh karena itu, pluralisme hukum, bagaimanapun juga, tidak relevan dengan kondisi sosial-politik Indonesia.


Daftar Pustaka


http://kiteklik.blogspot.com/2011/06/pluralisme-hukum-dalam-pandangan.html

Jumat, 16 Mei 2014

Laporan Kimia Larutan Elektrolisis


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
       Reaksi kimia dapat ditimbulkan oleh arus listrik. Reaksi kimia dapat dipakai untuk menghasilkan arus listrik. Elektrolisis merupakan proses dengan mana reaksi redoks yang tidak bisa berlangsung spontan. Untuk lebih memahami apakah sebenarnya elektrolisis itu dapat dilihat pada proses pengisian aki. Dalam proses pengisian aki tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila kedalam suatu larutan elektrolit dialiri arus listrik searah maka akan terjadi reaksi kimia, yaitu penguraian atas elektrolit tadi. Peristiwa penguraian (reaksi kimia) oleh arus searah itulah yang disebut elektrolisis. Sedangkan sel dimana terjadinya reaksi tersebut disebut sel elektrolisis. Sel elektrolisis terdiri dari larutan yang dapat menghantarkan listrik disebut elektrolit, dan dua buah elektroda yang berfungsi sebagai katoda dan anoda.
       Reaksi elektrolisis terdiri dari reaksi katode, yaitu reduksi dan reaksi anode, yaitu oksidasi. Spesi apa saja yang terlibat dalam reaksi katode dan anode bergantung pada potensial elektroda dari spesi tersebut, dengan ketentuan spesi yang mengalami reduksi di katode adalah spesi yang potensial oksidasinya paling besar.
       Berdasarkan ketentuan tersebut, kita dapat meramalkan reaksi-reaksi elektrolisis. Namun demikian, perlu juga dipahami bahwa potensial electrode juga dipengaruhi konsentrasi dan jenis elektrodenya. Oleh karena itu, percobaan ini dilakukan untuk mengetahui proses dan manfaat dari proses elektrolisis.    

B.      Rumusan Masalah
v  Apa yang terjadi di anoda dan katoda pada reaksi elektrolisis larutan KI ?

C.      Tujuan
v  Mengamati reaksi yang terjadi di anode dan katode pada reaksi elektrolisis.
v  Menuliskan reaksi yang terjadi di anode dan katode.

D.     Manfaat Penelitian
v  Siswa dapat mengetahui beberapa kegunaan elektrolisis.
v  Siswa dapat menerapkan kesimpulan yang didapat dari penelitian dalam kehidupan sehari-hari.
v  Melatih siswa dalam memecahkan masalah yang sering muncul dalam penelitian.
v  Siswa dapat mengetahui perbedaan katoda dan anoda dalam reaksi elektrolisis.
v  Siswa dapat mengetahui factor yang mempengaruhi elektrolisis.

E.      Metode Penelitian
1.      Menentukan alat dan bahan.
      Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Alat - alat    :         
·      Catu daya
·      Batang elektrode
·      Tabung U
·      Plat tetes
·      Pipet tetes
·      Statif
·      Klem
·      Corong
Bahan - bahan   :
·      Larutan KI 0,1 M
·      Indikator pp
·      Amilum

2.      Cara Kerja
a.      Pasang alat elektrolisis seperti terlihat pada gambar !

  Elektroda karbon                                                                                                                                                                 
 
                          
                     


b.      Elektrolisis KI
1)      Masukkan larutan KI ke dalam tabung U sampai 1,5 cm dari mulut tabung.
2)      Celupkan kedua electrode karbon ke masing-masing kaki tabung U dan hubungkan electrode itu dengan sumber arus searah 6 volt selama   5 menit.Catat perubahan yang terjadi.
3)      Keluarkan dengan hati-hati kedua electrode, cium baunya dan catat.
4)      Elektrolisis KI
a.      Ambil 2 ml larutan dalam ruang katode, kemudian tambahkan larutan pp 1 tetes.
b.      Ambil 2 ml larutan dalam ruang katode, kemudian tambahkan larutan amilum 1 tetes.
c.       Ambil 2 ml larutan dalam ruang anode, kemudian tambahkan larutan pp 1 tetes.
d.      Ambil 2 ml larutan dalam ruang anode, kemudian tambahkan larutan amilum 1 tetes.

















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.  Dasar Teori
         Sel elektrolisis merupakan kebalikan dari sel volta. Dalam sel elektrolisis, listrik digunakan untuk melangsungkan reaksi redoks tak spontan. Sel elektrolisis terdiri dari sebuah electrode, elektrolit, dan sumber arus searah. Electron memasuki sel elektrolisis melelui kutub negatif (katoda). Spesi tertentu dalam larutan menyerap electron dari katoda dan mengalami reduksi. Sedangkan spesi lain melepas electron di anoda dan mengalami oksidasi.
          Reaksi elektrolisis terdiri dari reaksi katoda, yaitu reduksi, dan reaksi anoda, yaitu oksidasi. Spesi yang terlibat dalam reaksi katoda dan anoda bergantung pada potensial elektroda dari spesi tersebut. Ketentuannya sebagai berikut.
v  Spesi yang mengalami reduksi di katoda adalah spesi yang potensial reduksinya terbesar.
v  Spesi yang mengalami oksidasi di anoda adalah spesi yang potensial oksidasinya terbesar.
Sel elektrolisis terbagi menjadi 2, yaitu:
v  Elektrolisis larutan elektrolit.
v  Elektrolisis larutan non elektrolit.
Elektroda yang digunakan dalam proses elektrolisis dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
v   Elektroda inert / tidak aktif, seperti kalsium (Ca), potasiumgrafit (C), Platina (Pt), dan emas (Au).
v   Elektroda aktif, seperti seng (Zn), tembaga (Cu), dan perak (Ag).
Elektrolitnya dapat berupa larutan berupa asam, basa, atau garam, dapat pula leburan garam halida atau leburan oksida. Kombinasi antara elektrolit dan elektroda menghasilkan tiga kategori penting elektrolisis, yaitu:
1.     Elektrolisis larutan dengan elektroda inert
2.     Elektrolisis larutan dengan elektroda aktif
3.     Elektrolisis leburan dengan elektroda inert
Pada elektrolisis, katoda merupakan kutub negatif dan anoda merupakan kutub positif. Pada katoda akan terjadi reaksi reduksi dan pada anoda terjadi reaksi oksidasi.
Hukum faraday pertama tentang tentang elektrolisis menyatakan bahwa “jumlah perubahan kimia yang dihasilkan sebanding dengan besarnya muatan listrik yang melewati suatu elektrolisis”. Hukum kedua tentang elektrolisis menyatakan bahwa : “Sejumlah tertentu arus listrik menghasilkan jumlah ekivalen yang sama dari benda apa saja dalam suatu elektrolisis”

B.   Hasil dan Pembahasan

Hasil Tabel Pengamatan

Keterangan
Mula - mula
Ditambah amilum
Ditambah pp
a.   Pada ruang katode (-)
-       Batang karbon berbuih
-       Berwarna putih / bening
-       Tidak berbau

-       Berwarna keruh
-    Warna pink keunguan
b.   Pada ruang anode (+)
-       Berubah warna kuning
-       Baunya seperti betadine
-       Batang karbon tidak berbuih

-        Berwarna agak kehitaman
-    Tetap berwarna kuning

 Pembahasan Data

Reaksi elektrolisis Larutan KI dengan elektroda karbon (C)
Reaksi   :    KI(aq)                                        K+(aq) + I-(aq)
Anoda   :    2 I-(aq)                                     I2(g) + 2e-
Katoda  :    2 H2O(l) + 2e                       H2(g) + 2OH-(aq)
         2 H2O(l) + 2 I-(aq)                    I2(g) + H2(g) + 2OH-(aq)

Pada praktikum tersebut, terjadi beberapa gejala saat kita mengamati terjadinya elektrolisis pala larutan KI. Pada bagian ini, saya akan membahas gejala-gejala yang terjadi pada larutan KI. Dalam rentan waktu 5 menit melakukan praktikum dengan larutan KI terlihat bahwa pada katoda terdapat gelembung-gelembung gas yang lebih banyak dan lebih terlihat dibandingkan dengan pada anoda. Gelembung-gelembung gas sebenarnya merupakan gas hidrogen. Jika dilihat pada reaksi di Katoda larutan KI, maka benar adanya bahwa terjadi reaksi reduksi pada katoda. Karena terlihat pada reaksi tersebut bahwa adanya gas hidrogen (H2(g)).
Selanjutnya, timbulnya warna kuning pada anoda. Sebenarnya, warna kuning yang ada pada anoda ini menandakan adanya gas iodin pada reaksi tersebut. Jika dilihat pada reaksi di Anoda larutan KI, maka benar bahwa terjadi reaksi oksidasi pada Anoda. Karena terlihat pada reaksi tersebut bahwa adanya gas iodin (I2(g)).
Terjadi pula perubahan warna larutan KI yang diambil dari bagian katoda yang ditambah dengan indikator PP. Sebelum reaksi elektrolisis terjadi, larutan KI berwarna bening, sedangkan setelah terjadi elektrolisis warna larutan KI menjadi pink keunguan. Hal ini menandakan bahwa larutan KI di katoda setelah mengalami elektrolisis bersifat basa. Jika larutan tersebut setelah ditambah dengan indikator PP menghasilkan warna bening, maka larutan tersebut bersifat asam. Dan jika larutan tersebut setelah ditambah dengan indikator PP menghasilkan warna pink keunguan, maka larutan tersebut bersifat basa. Berarti benar, bahwa reaksi di katoda bersifat basa (adanya 2OH-(aq) pada reaksi di katoda).













 BAB III
PENUTUP

p  Kesimpulan
       Dari percobaan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa terjadi reaksi reduksi pada katoda dan reaksi oksidasi pada anoda disetiap larutan elektrolisis. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya gas hidrogen pada katoda larutan KI, adanya gas iodin pada anoda larutan KI. Larutan KI di katoda setelah mengalami elektrolisis bersifat basa hal ini terbukti karena adanya perubahan warna dari bening menjadi pink keunguan setelah ditambah indikator PP dan adanya 2OH-(aq) pada reaksi di katoda.
p  Kritik
        Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang sifatnya membangun kami harapkan demi peningkatan dan kesempurnaan prestasi kami terutama di bidang Kimia.
p  Saran
v  Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan oleh kelompok kami, kami dapat menyarankan agar praktikum dilakukan dengan penuh ketelitian dalam mengamati adanya gelembung gas yang ada di katoda dan anoda, serta adanya perubahan warna pada larutan di katoda setelah dilakukan elektrolisis.
v  Dalam penulisan hasil penelitian harus sesuai dengan data yang ada (objektif).










DAFTAR PUSTAKA


Anshory, Irfan. 1984. Kimia. Ganesha Exact: Bandung.

Dogra. 1998. Kimia Fisika. Universitas Indonesia: Jakarta.

Jauhuratul, Farida.2009.Aktif Belajar KIMIA kelas XII.Jakarta. Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional Indonesia.
Oxtoby, David.W.2001.Kimia Modern.Erlangga : Jakarta
Petrucci, Ralp. H.1985.Kimia untuk Universitas. Erlangga : Jakarta
S.Syukri.1999.Kimia Dasar 3.ITB : Bandung
Utami, Budi.2009.KIMIA kelas XII.Jakarta. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional Indonesia.
http://Sel Elektrolisis _ Chem-Is-Try.Org _ Situs Kimia Indonesia _.htm
http://kimiamarsudirini.blogspot.com/2009/10/elektrolisis.html