Bab
II: Pembahasan
A. Pluralisme Hukum
Pluralisme
berasal dari bahasa Inggris: pluralism, terdiri
dari dua kata plural (beragam) dan isme (paham)
yang berarti beragam pemahaman, atau bermacam-macam paham Untuk itu kata ini
termasuk kata yang ambigu (bermakna lebih dari satu).
Sedangkan
pengertian hukum adalah peraturan atau adat yg secara resmi dianggap mengikat,
yg dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah.
Jadi
Pengertian Pluralisme Hukum adalah: Pluralisme hukum (legal pluralism) kerap
diartikan sebagai keragaman hukum. Pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari
satu aturan hukum dalam sebuah lingkungan sosial.
B. Pluralisme Hukum di Indonesia
Pluralisme
hukum (legal pluralism) kerap diartikan sebagai keragaman hukum. Menurut
John Griffiths, pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari satu aturan hukum
dalam sebuah lingkungan sosial (Griffiths, 1986: 1). Pada dasarnya, pluralisme
hukum melancarkan kritik terhadap apa yang disebut John Griffiths sebagai
ideologi sentralisme hukum (legal centralism).
Sentralisme
hukum memaknai hukum sebagai ”hukum negara” yang berlaku seragam untuk semua
orang yang berada di wilayah yurisdiksi negara tersebut. Dengan demikian, hanya
ada satu hukum yang diberlakukan dalam suatu negara, yaitu hukum negara. Hukum
hanya dapat dibentuk oleh lembaga negara yang ditugaskan secara khusus untuk
itu. Meskipun ada kaidah-kaidah hukum lain, sentralisme hukum menempatkan hukum
negara berada di atas kaidah hukum lainnya, seperti hukum adat, hukum agama,
maupun kebiasan-kebiasaan. Kaidah-kaidah hukum lain tersebut dianggap memiliki
daya ikat yang lebih lemah dan harus tunduk pada hukum negara (Griffiths, 2005:
71).
Dalam
perjalanannya, pluralisme hukum ini tidak terlepas dari sejumlah kritik, di
antaranya: (1) pluralisme hukum dinilai tidak memberikan tekanan pada batasan
istilah hukum yang digunakan; (2) pluralisme hukum dianggap kurang
mempertimbangkan faktor struktur sosio-ekonomi makro yang mempengaruhi
terjadinya sentralisme hukum dan pluralisme hukum. Selain itu, menurut Rikardo
Simarmata, kelemahan penting lainnya dari pluralisme hukum adalah pengabaiannya
terhadap aspek keadilan.
Lagi
pula, pluralisme hukum belum bisa menawarkan sebuah konsep jitu sebagai
antitesis hukum negara. Pluralisme hukum hanya dapat dipakai untuk memahami
realitas hukum di dalam masyarakat.
C. Gerakan Pluralisme Hukum di
Indonesia
Perkembangan
pluralisme hukum dalam gerakan perubahan hukum muncul melalui advokasi-advokasi
terhadap masyarakat adat. Dalam konteks ini, pluralisme hukum dipakai untuk
membela tanah-tanah masyarakat yang diambil paksa oleh negara atau pelaku
swasta (Simarmata, 2005). Hukum adat ditampilkan sebagai lawan dari hukum
negara yang memberi keabsahan perampasan-perampasan tanah adat. Lagi pula,
dalam UUPA ada peluang melalui aturan yang mengakui keberadaan tanah-tanah adat
(ulayat). Singkatnya, konsep pluralisme hukum dipakai untuk mengangkat kembali
keberadaan hukum adat, dalam upaya untuk melindungi sumber daya alam yang
dimiliki masyarakat adat dari perampasan-perampasan yang diabsahkan hukum
negara.
Lebih
jauh lagi, pluralisme hukum dipakai untuk mendorong pengakuan keberadaan
masyarakat adat oleh negara. Salah satu keberhasilan gerakan ini adalah menggolkan
aturan mengenai pengakuan dan penghormatan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat hak-hak tradisionalnya dalam Pasal 18B UUD 1945 pada amandemen kedua tahun
2000. Selain itu, kemunculan TAP MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria,
yang di dalamnya diatur juga tentang masyarakat adat, juga tidak terlepas dari
pengaruh pluralisme hukum. Sejak munculnya aturan ini, hampir semua produk
hukum negara yang berkaitan dengan sumber daya alam memuat aturan mengenai
masyarakat adat ini.
Di
tataran praktis, gerakan untuk mendorong pengakuan masyarakat adat semakin
masih dilakukan aktivis-aktivis pro-masyarakat adat. Di antaranya dengan
melakukan pemetaan wilayah-wilayah adat di sejumlah tempat dan pendokumentasian
hukum-hukum adat. Karena, dua hal inilah yang menjadi syarat utama untuk
diakuinya keberadaan masyarakat adat. Selain itu, gerakan ini juga mendorong
pemerintah-pemerintah daerah mengakui masyarakat adat melalui pembentukan
sejumlah regulasi daerah. Di sisi lain, pemberlakuan otonomi daerah juga
semakin memberi angin segar untuk gerakan ini.
Lebih
jauh lagi, gerakan penggiat pluralisme hukum juga mencoba merambah ranah
penyelesaian sengketa, yaitu dengan mendorong adanya pengakuan terhadap
lembaga-lembaga penyelesaian hukum adat (peradilan adat). Hal ini dianggap
sebagai salah satu jawaban terhadap situasi lembaga penyelesaian sengketa
negara (pengadilan) yang bobrok, yang dinilai tidak dapat memberikan keadilan
substantif. Gerakan ini intinya menawarkan untuk membiarkan masyarakat
menyelesaikan persoalannya sendiri melalui peradilan adat tanpa melalui
melibatkan pengadilan.
D.Pluralisme Hukum dalam Pandangan Antropologi
Pluralisme dalam
sehari - hari dikenal sebagai keragaman akan perbedaan, dari segi keilmuan
sendiri Pluralisme digunakan untuk menafsirkan cara yang berbeda, di berbagai
topik untuk menunjukkan keragaman pandangan, dan bertentangan dengan satu
pendekatan atau metode penafsiran. Namun di masyarakat sendiri yang banyak
diangkat kepermukaan adalah Pluralisme Agama tapi tahukah anda ada banyak jenis
pluralisme diantaranya :
- Pluralisme Kosmik yakni keyakinan di berbagai dunia lain di luar bumi, yang mungkin memiliki kondisi yang cocok untuk kehidupan.
- Pluralisme Budaya, ketika kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat yang lebih besar mempertahankan identitas budaya mereka yang unik (lihat Multikulturalisme)
- Pluralisme Ekonomi , keragaman metode ekonomi termasuk kapitalisme, koperasi dan laissez faire
- Pluralisme Hukum, mengakui adanya perbedaan sistem hukum di dunia
- Pluralisme Metodologis, pandangan bahwa beberapa fenomena yang diamati dalam sains dan ilmu sosial memerlukan beberapa metode untuk menjelaskan sifat mereka.
- Pluralisme (hubungan industrial), pengakuan dari multiplicy kepentingan sah dan pemangku kepentingan dalam hubungan kerja.
- Pluralisme (filsafat), posisi seluruhnya tidak terkait dalam monisme metafisika dan epistemologi.
- Pluralisme (filsafat politik), pengakuan dari keanekaragaman sistem politik.
- Pluralisme (teori politik), berpandangan bahwa kekuasaan politik dalam masyarakat tidak terletak dengan pemilih, tetapi didistribusikan antara sejumlah luas kelompok.
- Pluralisme Agama, istilah yang digunakan untuk menggambarkan penerimaan semua jalur agama sama-sama sah, mempromosikan ko-eksistensi.
- Pluralisme Ilmiah, pandangan bahwa beberapa fenomena yang diamati dalam ilmu membutuhkan beberapa penjelasan untuk menjelaskan sifat mereka, sehingga penolakan bahwa ada satu metode ilmiah kesatuan .
Walau terdapat sekian banyak pluralisme seperti yang telah saya paparkan diatas, namun kali ini kita akan membahas mengenai pluralisme Hukum terutama dari pandangan Antropologi Hukum. Mengapa harus dikaji dari segi Antropologi Hukum ? Hal ini karena ketika mengkaji kasus-kasus sengketa dalam masyarakat, studi-studi antropologis mengenai hukum juga memberi perhatian pada fenomena kemajemukan hukum (legal pluralism) dalam kehidupan masyarakat. Dalam kaitan ini, Cotterrel (1995) menegaskan :
We should think of law as a social phenomenon pluralistically, as regulation of many kinds existing in a variety of relationships, some of the quite tenuous, with the primary legal institutions of the centralized state. Legal anthropology has almost always worked with pluralist conceptions of law (Cotterrell, 1995:306).
Hal ini memberikan pembenaran terhadap kemajemukan maupun keragaman yang berarti secara empiris dapat dijelaskan, bahwa hukum yang berlaku dalam masyarakat selain terwujud dalam bentuk hukum negara (state law), juga berwujud sebagai hukum agama (religious law), dan hukum kebiasaan (customary law).
Tetapi, secara antropologis bentuk mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (inner order mechanism atau self-regulation ) dalam komunitas-komunitas masyarakat adalah juga merupakan hukum yang secara lokal berfungsi sebagai sarana untuk menjaga keteraturan sosial (F. von Benda-Beckmann, 1989, 1999; Snyder, 1981; Griffiths, 1986; Hooker, 1987; K. von Benda-Beckmann & Strijbosch, 1986; Moore, 1986; Spiertz & Wiber, 1998).
Secara substantif pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama , atau untuk menjelaskan keberadaan dua atau lebih sistem pengendalian sosial dalam satu bidang kehidupan sosial (Griffiths, 1986:1), atau menerangkan suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan sosial (Hooker, 1975:3), atau suatu kondisi di mana lebih dari satu sistem hukum atau institusi bekerja secara berdampingan dalam aktivitas-aktivitas dan hubungan-hubungan dalam satu kelompok masyarakat (F.von Benda-Beckmann, 1999:6).
Sedangkan ajaran mengenai pluralisme hukum (legal pluralism) secara umum dipertentangkan dengan ideologi sentralisme hukum (legal centralism). Ideologi sentralisme hukum diartikan sebagai suatu ideologi yang menghendaki pemberlakuan hukum negara (state law) sebagai satu-satunya hukum bagi semua warga masyarakat, dengan mengabaikan keberadaan sistem-sistem hukum yang lain, seperti hukum agama, hukum kebiasaan, dan juga semua bentuk mekanisme-mekanisme pengaturan lokal yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, Griffiths (1986:12) menegaskan :
The ideology of legal centralism, law is and should be the law of the state, uniform for all persons, exclusive of all other law, and administered by a single set of state institutions. To the extent that other, lesser normative orderings, such as the church, the family, the voluntary association and the economic organization exist, they ought to be and in fact are hierarchically subordinate to the law and institutions of the state.
Jadi, secara jelas ideologi sentralisme hukum cenderung mengabaikan kemajemukan sosial dan budaya dalam masyarakat, termasuk di dalamnya norma-norma hukum lokal yang secara nyata dianut dan dipatuhi warga dalam kehidupan bermasyarakat, dan bahkan sering lebih ditaati dari pada hukum yang diciptakan dan diberlakukan oleh negara (state law). Karena itu, pemberlakuan sentralisme hukum dalam suatu komunitas masyarakat yang memiliki kemajemukan sosial dan budaya hanya merupakan sebuah kemustahilan. Dengan meminjam kata-kata dari Griffiths (1986:4) dinyatakan:
Legal pluralism is the fact. Legal centralism is a myth, an ideal, a claim, an illusion. Legal pluralism is the name of a social state of affairs and it is a characteristic which can be predicted of a social group.
Konsep pluralisme hukum yang dikemukakan Griffiths di atas pada dasarnya dimaksudkan untuk menonjolkan keberadaan dan interaksi sistem-sistem hukum dalam suatu masyarakat, antara hukum negara (state law) dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan sistem hukum agama (religious law) dalam suatu kelompok masyarakat. Dalam kaitan ini, Tamanaha (1992:25-6) memberi komentar kritis terhadap konsep pluralisme dari Griffiths yang cenderung terfokus pada penekanan dikotomi keberadaan hukum negara dengan sistem-sistem hukum yang lain, seperti berikut :
1. Konsep pluralisme hukum dari Griffiths pada dasarnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu pluralisme yang kuat (strong legal pluralism) dan pluralisme yang lemah (weak legal pluralism). Pluralisme yang lemah merupakan bentuk lain dari sentralisme hukum (legal centralism), karena walaupun dalam kenyataannya hukum negara (state law) mengakui adanya sistem-sistem hukum yang lain, tetapi hukum negara tetap dipandang sebagai superior, dan sementara itu sistem-sistem hukum yang lain bersifat inferior dalam hierarkhi sistem hukum negara.
Contoh yang memperlihatkan pluralisme hukum yang lemah (weak legal pluralism) adalah konsep pluralisme hukum dalam konteks interaksi sistem hukum pemerintah kolonial dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan hukum agama (religious law) yang berlangsung di negara-negara jajahan seperti dideskripsikan oleh Hooker (1975).
2. Sedangkan, pluralisme hukum yang kuat mengacu pada fakta adanya kemajemukan tatanan hukum dalam semua kelompok masyarakat yang dipandang sama kedudukannya, sehingga tidak terdapat hirarkhi yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih dominan dari sistem hukum yang lain. Untuk ini, teori Living Law dari Eugene Ehrlich yang menyatakan dalam setiap masyarakat terdapat aturan-aturan hukum yang hidup (living law) dari tatanan normatif (Sinha, 1993:227; Cotterrell, 1995:306), yang biasanya dikontraskan atau dipertentangkan dengan sistem hukum negara termasuk dalam kategori pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralism).
3. Selain itu, yang dimasukkan kategori pluralisme hukum yang kuat adalah teori Semi-Autonomous Social Field yang diintroduksi Moore (1978) mengenai kapasitas kelompok-kelompok sosial (social field) dalam menciptakan mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self-regulation) dengan disertai kekuatan-kekuatan pemaksa pentaatannya. Karena itu, Griffiths kemudian mengadopsi pengertian pluralisme hukum dari Moore (1978) :
Legal pluralism refers to the normative heterogenity attendant upon the fact that social action always take place in a context of multiple, overlapping "semi-autonomous social field".
Sementara itu, hukum yang dimaksud dalam konsep pluralisme hukum Griffiths kemudian menjadi tidak terbatas pada sistem hukum negara, hukum kebiasaan, atau hukum agama saja, tetapi kemudian diperluas termasuk juga sistem normatif yang berupa mekanisme-makanisme pengaturan sendiri seperti yang diintroduksi Moore (1978), yaitu:
Law is the self-regulation of a ‘semi-autonomous social field’ (Tamanaha, 1992:25).
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep pluralisme hukum tidak lagi mengedepankan dikotomi antara sistem hukum negara (state law) di satu sisi dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan hukum agama (religious law) di sisi yang lain. Pada tahap perkembangan ini, konsep pluralisme hukum lebih menekankan pada interaksi dan ko-eksistensi berbagai sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya norma, proses, dan institusi hukum dalam masyarakat : A variety of interacting, competing normative orders-each mutually influencing the emergence and operation of each other’s rules, processes and institutions (Kleinhans & MacDonald, 1997:31)
- Pluralisme Kosmik yakni keyakinan di berbagai dunia lain di luar bumi, yang mungkin memiliki kondisi yang cocok untuk kehidupan.
- Pluralisme Budaya, ketika kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat yang lebih besar mempertahankan identitas budaya mereka yang unik (lihat Multikulturalisme)
- Pluralisme Ekonomi , keragaman metode ekonomi termasuk kapitalisme, koperasi dan laissez faire
- Pluralisme Hukum, mengakui adanya perbedaan sistem hukum di dunia
- Pluralisme Metodologis, pandangan bahwa beberapa fenomena yang diamati dalam sains dan ilmu sosial memerlukan beberapa metode untuk menjelaskan sifat mereka.
- Pluralisme (hubungan industrial), pengakuan dari multiplicy kepentingan sah dan pemangku kepentingan dalam hubungan kerja.
- Pluralisme (filsafat), posisi seluruhnya tidak terkait dalam monisme metafisika dan epistemologi.
- Pluralisme (filsafat politik), pengakuan dari keanekaragaman sistem politik.
- Pluralisme (teori politik), berpandangan bahwa kekuasaan politik dalam masyarakat tidak terletak dengan pemilih, tetapi didistribusikan antara sejumlah luas kelompok.
- Pluralisme Agama, istilah yang digunakan untuk menggambarkan penerimaan semua jalur agama sama-sama sah, mempromosikan ko-eksistensi.
- Pluralisme Ilmiah, pandangan bahwa beberapa fenomena yang diamati dalam ilmu membutuhkan beberapa penjelasan untuk menjelaskan sifat mereka, sehingga penolakan bahwa ada satu metode ilmiah kesatuan .
Walau terdapat sekian banyak pluralisme seperti yang telah saya paparkan diatas, namun kali ini kita akan membahas mengenai pluralisme Hukum terutama dari pandangan Antropologi Hukum. Mengapa harus dikaji dari segi Antropologi Hukum ? Hal ini karena ketika mengkaji kasus-kasus sengketa dalam masyarakat, studi-studi antropologis mengenai hukum juga memberi perhatian pada fenomena kemajemukan hukum (legal pluralism) dalam kehidupan masyarakat. Dalam kaitan ini, Cotterrel (1995) menegaskan :
We should think of law as a social phenomenon pluralistically, as regulation of many kinds existing in a variety of relationships, some of the quite tenuous, with the primary legal institutions of the centralized state. Legal anthropology has almost always worked with pluralist conceptions of law (Cotterrell, 1995:306).
Hal ini memberikan pembenaran terhadap kemajemukan maupun keragaman yang berarti secara empiris dapat dijelaskan, bahwa hukum yang berlaku dalam masyarakat selain terwujud dalam bentuk hukum negara (state law), juga berwujud sebagai hukum agama (religious law), dan hukum kebiasaan (customary law).
Tetapi, secara antropologis bentuk mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (inner order mechanism atau self-regulation ) dalam komunitas-komunitas masyarakat adalah juga merupakan hukum yang secara lokal berfungsi sebagai sarana untuk menjaga keteraturan sosial (F. von Benda-Beckmann, 1989, 1999; Snyder, 1981; Griffiths, 1986; Hooker, 1987; K. von Benda-Beckmann & Strijbosch, 1986; Moore, 1986; Spiertz & Wiber, 1998).
Secara substantif pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang kehidupan sosial yang sama , atau untuk menjelaskan keberadaan dua atau lebih sistem pengendalian sosial dalam satu bidang kehidupan sosial (Griffiths, 1986:1), atau menerangkan suatu situasi di mana dua atau lebih sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan sosial (Hooker, 1975:3), atau suatu kondisi di mana lebih dari satu sistem hukum atau institusi bekerja secara berdampingan dalam aktivitas-aktivitas dan hubungan-hubungan dalam satu kelompok masyarakat (F.von Benda-Beckmann, 1999:6).
Sedangkan ajaran mengenai pluralisme hukum (legal pluralism) secara umum dipertentangkan dengan ideologi sentralisme hukum (legal centralism). Ideologi sentralisme hukum diartikan sebagai suatu ideologi yang menghendaki pemberlakuan hukum negara (state law) sebagai satu-satunya hukum bagi semua warga masyarakat, dengan mengabaikan keberadaan sistem-sistem hukum yang lain, seperti hukum agama, hukum kebiasaan, dan juga semua bentuk mekanisme-mekanisme pengaturan lokal yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, Griffiths (1986:12) menegaskan :
The ideology of legal centralism, law is and should be the law of the state, uniform for all persons, exclusive of all other law, and administered by a single set of state institutions. To the extent that other, lesser normative orderings, such as the church, the family, the voluntary association and the economic organization exist, they ought to be and in fact are hierarchically subordinate to the law and institutions of the state.
Jadi, secara jelas ideologi sentralisme hukum cenderung mengabaikan kemajemukan sosial dan budaya dalam masyarakat, termasuk di dalamnya norma-norma hukum lokal yang secara nyata dianut dan dipatuhi warga dalam kehidupan bermasyarakat, dan bahkan sering lebih ditaati dari pada hukum yang diciptakan dan diberlakukan oleh negara (state law). Karena itu, pemberlakuan sentralisme hukum dalam suatu komunitas masyarakat yang memiliki kemajemukan sosial dan budaya hanya merupakan sebuah kemustahilan. Dengan meminjam kata-kata dari Griffiths (1986:4) dinyatakan:
Legal pluralism is the fact. Legal centralism is a myth, an ideal, a claim, an illusion. Legal pluralism is the name of a social state of affairs and it is a characteristic which can be predicted of a social group.
Konsep pluralisme hukum yang dikemukakan Griffiths di atas pada dasarnya dimaksudkan untuk menonjolkan keberadaan dan interaksi sistem-sistem hukum dalam suatu masyarakat, antara hukum negara (state law) dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan sistem hukum agama (religious law) dalam suatu kelompok masyarakat. Dalam kaitan ini, Tamanaha (1992:25-6) memberi komentar kritis terhadap konsep pluralisme dari Griffiths yang cenderung terfokus pada penekanan dikotomi keberadaan hukum negara dengan sistem-sistem hukum yang lain, seperti berikut :
1. Konsep pluralisme hukum dari Griffiths pada dasarnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu pluralisme yang kuat (strong legal pluralism) dan pluralisme yang lemah (weak legal pluralism). Pluralisme yang lemah merupakan bentuk lain dari sentralisme hukum (legal centralism), karena walaupun dalam kenyataannya hukum negara (state law) mengakui adanya sistem-sistem hukum yang lain, tetapi hukum negara tetap dipandang sebagai superior, dan sementara itu sistem-sistem hukum yang lain bersifat inferior dalam hierarkhi sistem hukum negara.
Contoh yang memperlihatkan pluralisme hukum yang lemah (weak legal pluralism) adalah konsep pluralisme hukum dalam konteks interaksi sistem hukum pemerintah kolonial dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan hukum agama (religious law) yang berlangsung di negara-negara jajahan seperti dideskripsikan oleh Hooker (1975).
2. Sedangkan, pluralisme hukum yang kuat mengacu pada fakta adanya kemajemukan tatanan hukum dalam semua kelompok masyarakat yang dipandang sama kedudukannya, sehingga tidak terdapat hirarkhi yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih dominan dari sistem hukum yang lain. Untuk ini, teori Living Law dari Eugene Ehrlich yang menyatakan dalam setiap masyarakat terdapat aturan-aturan hukum yang hidup (living law) dari tatanan normatif (Sinha, 1993:227; Cotterrell, 1995:306), yang biasanya dikontraskan atau dipertentangkan dengan sistem hukum negara termasuk dalam kategori pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralism).
3. Selain itu, yang dimasukkan kategori pluralisme hukum yang kuat adalah teori Semi-Autonomous Social Field yang diintroduksi Moore (1978) mengenai kapasitas kelompok-kelompok sosial (social field) dalam menciptakan mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self-regulation) dengan disertai kekuatan-kekuatan pemaksa pentaatannya. Karena itu, Griffiths kemudian mengadopsi pengertian pluralisme hukum dari Moore (1978) :
Legal pluralism refers to the normative heterogenity attendant upon the fact that social action always take place in a context of multiple, overlapping "semi-autonomous social field".
Sementara itu, hukum yang dimaksud dalam konsep pluralisme hukum Griffiths kemudian menjadi tidak terbatas pada sistem hukum negara, hukum kebiasaan, atau hukum agama saja, tetapi kemudian diperluas termasuk juga sistem normatif yang berupa mekanisme-makanisme pengaturan sendiri seperti yang diintroduksi Moore (1978), yaitu:
Law is the self-regulation of a ‘semi-autonomous social field’ (Tamanaha, 1992:25).
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep pluralisme hukum tidak lagi mengedepankan dikotomi antara sistem hukum negara (state law) di satu sisi dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan hukum agama (religious law) di sisi yang lain. Pada tahap perkembangan ini, konsep pluralisme hukum lebih menekankan pada interaksi dan ko-eksistensi berbagai sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya norma, proses, dan institusi hukum dalam masyarakat : A variety of interacting, competing normative orders-each mutually influencing the emergence and operation of each other’s rules, processes and institutions (Kleinhans & MacDonald, 1997:31)
E. Irelevansi Pluralisme Hukum bagi
Indonesia Sekarang Ini
Gerakan
perubahan hukum di Indonesia dengan menggunakan pluralisme hukum sebagai
pijakan, telah melangkah cukup jauh. Salah satunya adalah dengan diakuinya
hak-hak masyarakat adat, termasuk hukumnya, dalam konstitusi.
Masyarakat
Indonesia memang merupakan masyarakat yang majemuk, tetapi bukan berarti bahwa
pluralisme hukum merupakan jawaban atas adanya problem hukum di Indonesia.
Pluralisme
hukum jelas mengakomodasi nilai-nilai tersebut, dan telah menjadi ancaman bagi demokratisasi
di Indonesia. Pengabaian aspek keadilan dalam pluralisme hukum membuat cakupan
hukum dalam pengertian pluralisme hukum juga hampir tidak mengenal batas.
Sepanjang aturan tersebut dilahirkan dan diberlakukan dalam wilayah tertentu,
ia sudah dapat dikatakan sebagai hukum. Tidak begitu penting apakah aturan
tersebut dilahirkan dengan proses dominasi atau dimaksudkan untuk meminggirkan
kelompok-kelompok tertentu (Simarmata, 2005). Singkatnya, semua nilai-nilai,
termasuk nilai-nilai negatif, dapat tumbuh dan berkembang melalui pluralisme
hukum.
Hal
ini sebenarnya sudah terjadi ketika sejumlah peraturan daerah (perda) yang
secara substantif meminggirkan kelompok-kelompok tertentu, berlaku di sejumlah
daerah. Lihat saja Qanun di Aceh atau Perda Injil di
Manokwari, begitu pula beberapa perda yang mewajibkan pelajar perempuan
mengenakan jilbab. Dalam sudut pandang pluralisme hukum, hal semacam itu diakui
sebagai implementasi dari pluralisme hukum. Sekali lagi terlihat di sini bahwa
pluralisme hukum pada dasarnya tidak melihat apakah secara substantif hukum
tersebut adil bagi semua orang.
BAB III : KESIMPULAN
Pengertian
Pluralisme Hukum adalah: Pluralisme hukum (legal pluralism) kerap diartikan
sebagai keragaman hukum. Pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari satu
aturan hukum dalam sebuah lingkungan sosial
Pluralisme
hukum bisa menjadi ancaman serius bagi proses demokrasi di Indonesia. Dengan
alasan pluralisme hukum, semua produk hukum dapat dipakai untuk menyuburkan
nilai-nilai feodalisme, otoritarianisme, ketidakadilan ekonomi, dan bahkan
dijadikan jalan bagi totalitarianisme. Indonesia merupakan masyarakat yang
majemuk, Namun kita belum memiliki konstitusi yang kuat untuk menopang
kemajemukan. Feodalisme masih begitu kental dalam seluruh segi kehidupan
masyarakat kita. Kita masih juga masih belum lepas dari bayang-bayang
otoritarianisme yang masih menghantui kita, ditambah dengan ancaman munculnya
kembali totalitarianisme semakin menguat akhir-akhir ini. Oleh karena itu,
pluralisme hukum, bagaimanapun juga, tidak relevan dengan kondisi
sosial-politik Indonesia.
Daftar Pustaka
http://kiteklik.blogspot.com/2011/06/pluralisme-hukum-dalam-pandangan.html